IDIOnline https://idi-online.or.id Ikatan Dokter Indonesia Thu, 08 Dec 2022 08:04:14 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.1.1 https://idi-online.or.id/wp-content/uploads/2022/01/cropped-logo-IDI-32x32.png IDIOnline https://idi-online.or.id 32 32 PB IDI Menerima Kunjungan DPRD Kebumen https://idi-online.or.id/berita/pb-idi-menerima-kunjungan-dprd-kebumen/ Thu, 08 Dec 2022 08:04:14 +0000 http://idi-online.or.id/?p=1498  

Pada tanggal 8 November 2022, DPRD Kebumen berkunjung ke Gedung R Soeharto jl Samratulangi 29 Jakarta Pusat, yaitu dalam rangka kunjungan kerja khusus dalam masalah Kesehatan. Dalam kunjungan tersebut diterima langsung oleh Ketua Umum PB IDI – Dr. Moh Adib Khumaidi, Sp.OT.

Turut hadir dalam pertemuan tersebut Sekjen PB IDI – Dr. Ulul Albab, Sp.OG, Ketua Bidang Pengembangan Pembiayaan Kesehatan dan Jaminan Kesehatan Nasional- dr. Misbahul Munir. Ketua Bidang Organisasi dr. Eka Mulyana, Sp.OT (K), FICS, M.Kes, S.H, MH.Kes. Ketua MPPK – DR. Dr. Ika Prasetya Wijaya, Sp.PD-KKV dan Ketua Bidang Kemitraan dan Hubungan Antar Lembaga

Ketua : dr. Rosita Rivai

]]>
POLI-MINIM RUU KESEHATAN https://idi-online.or.id/berita/poli-minim-ruu-kesehatan/ Mon, 28 Nov 2022 09:17:05 +0000 http://idi-online.or.id/?p=1478 POLI-MINIM RUU KESEHATAN

Iqbal Mochtar

Dunia kesehatan lagi riuh. Tiba-tiba saja bersirkulasi draf RUU Kesehatan yang menelisik banyak issu kesehatan, mulai dari hak dan kewajiban pasien hingga registrasi tenaga kesehatan. Jumlah pasalnya tidak main-main; 455 pasal. Sedemikian luas cakupannya hingga RUU ini mendapat julukan lain : RUU Ombinus atau Sapu Jagad.

Sesaat setelah muncul, RUU ini langsung mendapat respon negatif. Berbagai organisasi profesi (OP) kesehatan, termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dengan tegas menolak RUU ini. Banyak alasannya; salah satunya, mereka tidak dilibatkan dalam pembuatan RUU ini. Padahal mereka adalah stakeholder utama dan merupakan front-liner pelayanan kesehatan

Poli-Minim

Bila hanya menelisik pasal demi pasal, beberapa konten RUU ini bernuansa positif dan bermanfaat. Misalnya, Surat Tanda Registrasi bagi profesi kesehatan dapat berlaku seumur hidup; artinya, tidak perlu ada renewal. Ini bagus dan tepat. Ada juga peraturan tentang kemudahan prosedur bagi dokter diaspora Indonesia yang ingin kembali ke tanah air. Ini menggunting prosedur berbelit yang banyak dialami dokter diaspora saat ini.

Namun ketika mereview elemen substansial RUU, mulai terlihat sejumlah issu krusial yang menjadi alasan berbagai OP menolak RUU ini. Banyak ‘minim’ (poli-minim) dibalik RUU ini.

Pertama, minim transparansi (lack of transparancy). RUU ini dibuat diam-diam; entah apa motifnya. Bahkan hingga kini tidak ada informasi jelas siapa pembuat RUU ini. DPR menunjuk Kemenkes pembuatnya sementara Kemenkes menyebut RUU ini produk DPR. Terkesan kucing-kucingan. Di draf RUU sendiri tertulis catatan ‘confidential’; artinya rahasia.

Ini aneh; masak RUU sifatnya rahasia. Mestinya RUU justru disebar luas dari awal agar masyarakat tahu dan bisa memberi masukan. Nama penyusun naskah akedemik RUU ini pun tidak ada. Ibarat tesis atau disertasi, tidak diketahui siapa pembuatnya. Ironisnya, beredar kabar bahwa RUU ini masuk Prolegnas 2022 dan akan segera disahkan. Artinya, masyarakat berhadapan dengan sebuah RUU ‘misterius’ yang ujug-ujug akan segera disahkan. Ini jelas bertentangan dengan salah satu azas krusial pembentukan UU, yaitu keterbukaan. Semua produk legislasi, apalagi yang mempengaruhi hayat hidup orang banyak, harus dibuat secara transparan. Bukan dengan silence action.

Kedua, minim representasi (lack of representation). OP adalah representasi formal tenaga kesehatan di Indonesia. Mereka adalah stakeholder penting sistem pelayanan kesehatan. Tanpa mereka, pelayanan kesehatan tidak berjalan efektif atau bisa kolaps. Mestinya OP dilibatkan sejak awal dalam pembuatan RUU ini. Faktanya, tidak satupun OP formal ini dilibatkan. Ini melahirkan spekulasi bahwa peran OP mau dihilangkan atau dikerdilkan dalam RUU ini. Ada upaya marginalisasi profesi. Ini tentu bukan langkah tepat karena berpotensi menimbulkan konflik antara pemerintah dengan OP. Prakondisi konflik tidak bagus, apalagi menghadapi tahun politik pergantian pimpinan nasional.

Pelibatan OP formal sangat krusial, agar suara tenaga profesional terdengar. Jangan sampai RUU ini menggunakan model cherry-picking; mengundang orang-orang tertentu yang seide dengan konten RUU dan mencatatnya sebagai perwakilan suara OP.

Ketiga, minim kejelasan (lack of clarity). Urgensi sebuah UU Omnibus adalah mengganti dan mensinergiskan berbagai UU terkait yang ada. 12 UU bidang kesehatan akan dihapus dan digantikan oleh UU Omnibus kesehatan ini. Namun sebelum memutuskan pembuatan UU baru, mestinya ada penjelasan rasional dan transparan terkait alasan penggantian UU lama. Apakah UU lama sudah tidak relevan atau mengandung konflik satu dengan lainnya? Mesti ada penjelasan dan telaah ilmiah terkait aspek filosofis, yuridis dan sosial penggantian UU ini. Sehingga ada alasan substansial dan relevan penggantian UU.

Sayangnya, aspek clarity ini tidak terpenuhi. Hingga kini, tidak pernah terdengar adanya diskusi atau telaah ilmiah RUU ini, apalagi yang melibatkan perguruan tinggi. Kesannya, sangat lack of clarity.